Dakwah di Perantauan
.jpg)
“Nek mati dijalan Allah, ya inilah jalan kita. Siap dalam kondisi apapun, siap kapanpun dan dimanapun. Dimana ada Masjid, itu rumah Allah, disana saya tinggal. Dimana ada Mushola disana saya berada, dimana ada orang muslim, itu saudara saya”, tutur lembut Ustadz Dafi (28) yang mengingatkan sekaligus sebagai tamparan bagi kita yang masih ragu-ragu dalam berdakwah.
“Sikap berdo’a...?”, begitulah Ustadz Dafi memimpin berdo’a setiap kali mengaji. Pria muda asal Lombok itu membimbing santri-santrinya, tangannya menengadah, dengan suara keras yang terdengar seisi ruangan dan dengan ritme yang pelan menyesuaikan santri-santrinya berdo’a dengan khidmat.
Surat Al Fatihah dan doa mau belajar terdengar indah dibacakan para santri secara bersama-sama. “Ustadz mau nanya nih,” belum selesai bertanya, suara Mufid (santri) memotong pertanyaan Ustadz Dafi, dan memecah suasana.
“Gerhana bulan Ustadz?” katanya, seisi ruangan dibuatnya tertawa. Ustadz belum bertanya sudah dijawabnya. Akhirnya Ustadz bertanya, “semalam ada kejadian apa?” tanya Ustadz.
“Gerhana bulan Ustadz”, serempak santri menjawab. Lalu ditanya lagi, "kenapa bisa terjadi gerhana bulan?" Semua diam, lalu ada satu santri yang jawab “bumine dipangan buto Ustadz” jawab Tito seorang santri. Seketika Ustadz mengerutkan dahi pertanda tidak paham terhadap jawaban yang disampaikan dengan bahasa jawa tersebut. Kemudian ada santri yang menerjemahkan maksudnya adalah karena buminya dimakan raksasa. Tertawalah Ustadz dengan dibarengi senyum kecil para santri. Kemudian dijelaskannya secara ilmiah kenapa bisa terjadi gerhana bulan. Demikianlah Ustadz memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada santrinya sebelum masuk ke pelajaran inti (mengaji).
Menjadi seorang dai ditanah perantauan sudah menjadi jalan yang dipilihnya. Kampung Qur'an Merapi menjadi tempat pertama kalinya beliau berdakwah setelah masuk di PPPA Daarul Qur’an Nusantara. Tidak lama di Merapi, beliau dipindah tugaskan ke Rukem, Sidomulyo, Purworejo. Sebuah kampung di ujung bukit yang pada saat itu sedang terjadi bencana tanah longsor. Sampai sekarang, beliau masih bertugas dikampung Qur’an ini.
Masyarakat dukuh Rukem yang kental terhadap bahasa lokalnya (Bahasa Jawa) tidak menjadi halangan bagi beliau untuk tetap berinteraksi terhadap warga yaitu dengan bahasa persatuan (Bahasa Indonesia). Siapa sangka jika ada warga yang tertipu dengan beliau yang asalnya dari Lombok, NTB. Pak Kaum misalnya, dikiranya Ustadz Dafi itu asal Jawa, ini karena melihat beliau yang begitu lembut, halus, juga kulit dan wajahnya yang seperti orang Jawa.
Selain dikenal ramah terhadap warga, Ustadz Dafi juga menyenangkan terhadap anak-anak (para santri). Mereka begitu taat kepada beliau. Memang sudah semestinya sebagai Guru digugu lan ditiru. Beliau juga memposisikan seperti santrinya sehingga menjadikan keakraban diantara mereka. Seperti ketika sedang bermain kelereng, bermain kasti, bermain sepak bola, termasuk memancing, Ustadz ikut serta dengan mereka. Disinilah yang menjadikan seorang guru akrab dengan muridnya.
Harapan terhadap para santrinya adalah mereka menghafal Al Qur’an 30 Juz, dan ketika besar nanti sukses menjadi ilmuwan, menjadi doktor, kuliah di Amerika, Jepang, Eropa, dan kemudia menelpon beliau memberi kabar kesuksesan mereka dan tentunya 30 Juz-nya sudah selesai dan masih melekat didada.
Harapan lainnya adalah memiliki universitas, Ahmad Kadhafi University yang mahasiswanya siapapun boleh masuk, yang hafal Qur’an boleh masuk, yang tidak hafal juga boleh masuk. Mau jadi apapun dan mengambil jurusan apapun diperbolehkannya, demikian menjadi cita-cita beliau.
Pria yang lahir sebagai anak ke 2 dari 6 bersaudara ini sejak kecil sudah terbiasa ditinggal orangtuanya keluar negeri dikarenakan urusan bisnis. Hal itu menjadikan beliau terlatih mandiri. Karena itulah beliau sangat mandiri. Terlebih menjadi seorang Da’i di perantauan, saat ini beliau juga sedang mengerjakan tesis untuk menyelesaikan studi pascasarjana di Universitas Islam Indonesia (UII Yogyakarta).
Tekat kuat untuk membangun bangsa Indonesia menjadikan semangat dirinya untuk tetap berjuang dimanapun, utamanya di tempat-tempat yang pernah terjadi bencana. Hampir 2 tahun menjalani kehidupan sebagai Dai di perantauan dijalaninya dengan asyik. Dirubahnya kata suka-duka menjadi suka-cita. Karena ia merasa tidak ada dukanya, dan sukanya begitu banyak.
(Ditulis oleh Rusmidi, santri Kader Tahfidz Angkatan-2)